Isu penting dalam pengembangan rumahsakit adakah hubungan antara
teknologi kedokteran, pengaruh mekanisme pasar, dan perilaku ekonomi
profesional di sektor rumahsakit dalama suasana sistem ne gara yang
dipengaruhi globalisasi. Sebagai gambaran, sebuah penelitian di rumah
sakit swasta menunjukkan bahwa biaya rawat inap di bangsal VIP ternyata
lebih rendah dibanding tarif.
Untuk mengkompensasi kerugian ini rumahsakit tersebut meningkatkan
tarif pemeriksaan denganmenggunakan berbagai peralatan medik dan
menggunakan obat yang banyak. Patut dicatat bahwa penjualan obat sangat
mudah dihitung keuntungannya dan penggunaan peralatan medik juga mudah
dihitung keuntungannya.
Jebakan utama adalah: supplier induced demand
atau berusaha untuk menambah jenis pelayanan walaupun tidak ada
indikasi mediknya. Dalam hal ini ada insentif dari sistem perdagangan
obat untuk meningkatkan penjualan, pengaruh dari industri peralatan
kedokteran untuk menggunakan pendapatan, dan pengaruh dari para
ptofesional di ruamhsakit untuk memperbesar volume kegiatan pelayanan.
Keadaan
ini menimbulkan dilema dan kontradiksi dengan misi rumahsakit, terutama
yang berbasis kemanusiaan dan keagamaan. Bagaimana mengendalikan
teknologi medik seoptimal mungkin karena rumahsakit dapat berjalan
karena ada keuntungan dari teknologi medik yang disediakan. Patut
diingat bahwa subsidi pemerintah dan dana kemanusiaan untuk rumahsakit
non-profit sangat rendah di Indonesia. Rumahsakit-rumahsakit non-profit
mengandalkan obata dan pemeriksaan medik sebagai sumber cash-flow.
Dalam hal ini sering
timbul pemikiran bahwa ada pertentangan antara sifat rumahsakit yang
harus menyembuhkan orang sakit dengan basis kemanusiaan, dengan aspek
usaha yang mencari keuntungan untuk pengembangan rumahsakit dan
peningaktan pendapat sumber daya manusianya. Dalam hal ini teknologi
kedokteran dalam bentuk obat dan berbagai peralatan dan prosedur
kedokteran merupakan sarana untuk peningkatan pendapatan rumahsakit.
Besarnya omset obat dapat
sampai 50%-60% dari seluruh anggaran rumahsakit. Dengan demikian obat
merupakan bagian penting dalam kehidupan rumahsakit dan dokter.
Rumahsakit dapat meningkatkan pendapatan dengan memperbesar omset
penjualan obat. Dengan sifat tersebut maka obat merupakan barang ekonomi
strategis di rumahsakit.
Berbagai rumahsakit
melaporkan bahwa keuntungan dari obat yang dijual di rumahsakit
merupakan hal yang paling mudah dilakukan dibandingkan dengan keuntungan
di jasa lain, misal pelayanan laboratorium, radiologi, pelayanan rawat
inap, ataupun pelayanan gizi. Walaupun sulit dibuktikan, dokter menerima
berbagai keuntungan dan fasilitas dari industri obat. Sementara itu di
sisi lain, masyarakat sering mengeluh tentang mahalnya harga obat yang
dibutuhkan justru pada saat orang sakit dan tidak mampu bekerja.
Memahami Perilaku Sektor dengan Teknologi Tinggi
Rumahsakit
adalah lembaga pemberi jasa pelayanan kesehatan yang tergantung
perkembangan teknologi kedokteran. Teknologi kedokteran mempengaruhi
biaya pelayanan rumahsakit. Saat in i sektor kesehatan berbeda jauh
dengan keadaan 50 tahun yang lalu ketika teknologi sederhana masih
dipergunakan dalam pelayanan rumahsakit. Teknologi yang dipergunakan
pada pergantian abad ini merupakan jenis teknologi canggih yang
dipergunakan pada sektor lain.
Sebagai contoh, operasi dengan menggunakan peralatan mikro
merupakan jenis tindakan yang sama canggihnya dengan teknologi program
ruang ruang angkasa atau militer. Teknologi medik sudah sampai ke
rekayasa genetik, penggunaan bioteknologi untuk mengganti kerusakan
organ, sampai ke teknik cloning. Dampak penggunaan teknologi ini adalah
semakin mahalnya biaya pelayanan rumahsakit. Hal ini yang dirasakan oleh
masyarakat, perusahaan yang membayar jaminan kesehatan untuk
pegawainya, dan pemberi subsidi rumahsakit, termasuk di negara-negara
maju.
Sebagaimana sektor lain yang meggunakan teknologi tinggi, pola
kehidupan sektor kesehatan yang menggunakan teknologi tinggi merupakan
pola budaya pasar modal. Arti budaya ini adalah sukses atau gagalnya
kegiatan identik dengan naik atau turunnya harga saham. Sebagai gambaran
keberhasilan penelitian pengembangan obat untuk meningkatkan daya seks
manusia dikaitkan dengan meningkatnya harga saham seperti pada kasus
Viagra. Begitu Viagra berhasil disetujui oleh FDA (Food and Drug
Administration) maka harga sahamnya meningkat.
Sebuah contoh lain, ketika ada abstrak di
Kongres American Society od Clinical Oncology yang menyatakan bahwa obat
Avastin dari Genentech Inc. yang sedang dalam percobaan klinik tahap
akhir ternyata mempunayi masalah, maka harga saham Genentech Inc. turun
sampai 12% (BusinessWeek 2002).
Pola kehidupan ini dapat ditemui di sektor industri peralatan
kesehatan dan obat, sejak dari penelitian teknologi dasar sampai ke
hilir, ketika produk teknologi tersebut dipasarkan untuk dipergunakan
oleh masyarakat yang sakit. Para peneliti di laboratorium bekerja dengan
pacuan mendapat paten, industri obat membiayai penelitian penemuan obat
baru untuk meningkatkan harga saham, industri peralatan kedokteran
mengembangkan berbagai inovasi untuk meningkatkan penjualan.
Di sisi hilir, detailman melakukan pemasaran obat baru ke dokter
untuk meningkatkan keuntungan industri farmasi dan mendapatkan
penghasilan, industri peralatan rumahsakit melakukan promosi di kalangan
manajer rumahsakit untuk meningkatkan penjualan, termasuk sebagian
dokter melakukan peresepan obat dengan merek tertentu untuk meningkatkan
pendapatan.
Apakah sifat teknologi tinggi
dan pandangan hidup berbasis materi merupakan hal yang salah dalam
industi obat dan teknologi di sektor kesehatan? Jawabannya tentu tidak,
karena sektor industri global hanya dapat bergerak kalau ada keuntungan.
Dalam sejarah, motivasi manusia ebrpindah ke berbagai belahan bumi
adalah untuk kekayaan dan kejayaan negara. Akan tetapi menarik dibahas
bagaimana sifat teknologi tinggi ini dapat kontradiktif di sektor
rumahsakit yang mempunyai tradisi misi kemanusiaan.
Ada perbedaan cara pandang dalam pengembangan teknologi tinggi dengan sifat kemanusiaan. Sebagai contoh, perjanjian perlindungan hak cipta WTO-TRIP
yang berlaku efektid pada 1 Januari 1995 hasil dari Uruguay Round
melindung paten obat dan penetapan harganya di seluruh dunia. Walaupun
dalam Artikel no 27(2) ada klausul bahwa masalah paten dapat
dilonggarkan karena alasan moral dan kebutuhan publik (WTO 2002). Akan
tetapi pada prakteknya WTO-TRIP berhasil melindungi paten industri
farmasi.
Akibatnya obat-obatan mahal harganya,
termasuk obat yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Perjanjian ini
tidak seimbang sehingga menghasilkan keuntungan besar untuk industri
obat di negara maju, namun mengurangi status kehidupan masyarakat di
negara sedang berkembang yang tidak mampu membeli obat (Stiglitz 2002). Dalam hal ini ada konflik antara motivasi dan budaya indutri obat dan kebutuhan akan meningkatnya kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu saat ini terjadi arus
menentang perjanjian yang merugikan kesehatan masyarakat. Salahsatu satu
gerakan global yang berhasil menekan harga dipelopori oleh aktivis
penanggulangan penyakit AIDS melalui perjuangan panjang. Pada pertemuan
WTO di Doha pada bulan November tahun 2001, peraturan TRIPS dapat
dilonggarkan untuk obat-obatan yang dibutuhkan dalam peningkatan status
kesehatan masyarakat seperti AIDS, malaria, tuberculosis dan
lain-lainnya (Global Treatment Access 2002).
Cara lain yang digunakan adalah dengan menekan industri obat melalui
berbagai gerakan. Dr. Peter Mugyenyi dari Uganda dibantu kelompok
penekan internasional berhasil mendorong industri obat sperti
Merck&Co dan Glaxo-SmithKline PLC mengurangi harga obat sampai 90%
untuk dipakai di negara-negara miskin (Waldholz 2002).
Perlu ditekankan bahwa usaha-usaha menekan harga secara internasional
dilakukan untuk obat-obatan penyakit menular yang mempunyai
eksternalitas tinggi. Untuk obat-obatan yang tidak bersifat public-goods
yang biasanya untuk penyakit bukan menular, pengaruh paten masih sangat
kuat. Obat-obatan ini banyak dikomumsi di rumahsakit Indonesia.
Budaya yang mengacu pada pasar saham ini sudah berjalan sejak awal.
Di Amerika Serikat, sejak tahap penelitian dasar, motivasi mencari
untung dan meneliti untuk mencari penemuan baru yang menjanjikan materi
merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai Impian Amerika. Dapat
dikatakan bahwa penelitian dalam teknologi kedokteran di Amerika Serikat
dipengaruhi oleh budaya pasar saham. Beberapa hal dalam budaya pasar
saham yang mempengaruhi para peneliti adalah: mendapatkan sukses dari
kompetisi yang ketat melalui paten, individualisme, dan bertumpu pada
penilaian materi.
Dengan demikian sukses para peneliti tidak diukur dari indikator
pencapaian akademik, akan tetapi juga dari pendapatan materi. Dalam hal
ini dapat dipahami bahwa para peneliti Amerika Serikat memang
bersemangat menemukan sesuatu dan kemudian memasukkan kedalam proses
paten. Proses penelitian dan mendapatkan paten merupakan kegiatan yang
rumit dan membutuhkan membutuhkan proses lama.
Di Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology,
para peneliti kedokteran dasar mendapat banyak masukan melalui
seminar-seminar dan kursus-kursus mengenai berhubungan dengan pihak
industri sejak awal dan teknik memproses paten. Hal ini berbeda dengan
di Indonesia dimana penelitian dasar sering identik dengan proyek
pemerintah untuk mengembangkan bioteknologi atau ilmu pengetahuan.
Peneliti biasanya adalah para pegawai
pemerintah yang bekerja di perguruan tinggi ataupun lembaga penelitian
pemerintah. Penelitian dasar dikerjakan mungkin tidak terkait erat
dengan industri.Akibatnya dalam riset
untuk mencari obat baru, industri farmasi jarang yang mencari obat aru
untuk menolong orang miskin. Hal ini wajar karena biaya penelitian
sangat besar dan membutugkan pembeli obat yang mampu. Akibatnya
pengembangan obat baru untuk penyakit orang miskin jarang dilakukan oleh
pabrik obat. Sebagai gambaran TB, saat ini dipikul oleh sebuah aliansi
yang terdiri dari yayasan kemanusiaan, berbagai negara, dan sebagian
oleh industri farmasi (TB Alliance 2002).
Pola kerja untuk memproduksi obat di industri farmasi dapat dibagi
menjadi dua periode. Periode pertama adalah penelitian dasar dan
pengembangan di laboratorium serta masyarakat. Periode kedua adalah
setelah peluncuran obat di masyarakat. Periode pertama merupakan
investasi yang mempunyai risiko tinggi berupa kegagalan secara ilmiah.
Sementara itu periode kedua mempunyai risiko pula dalam penjualan. Pada
periode kedua, undang-undang paten melindungi industri farmasi dari
pesaing.Apabila masa paten selesai, maka pabrik obat lain boleh
memproduksi dalam bentuk obat generik sehingga pendapatan akan turun.
Setelah menemukan obat baru dan mempunyai hak paten, maka perusahaan
farmasi dapat membuat tarif untuk produk baru secara maksimal untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Karena perlindungan paten
bersifat monopoli, tarif dapat ditentukan setinggi-tingginya tanpa
khawatir ada persaingan. Sebagai hasilnya adalah keuntungan luar biasa
dapat diperoleh. Dapat disebutkan bahwa penelitian pengembangan obat
baru merupakan informasi yang selalu dicari oleh para investor.
Clarkson (1996) menunjukkan bahwa
industri farmasi merupakan salahsatu industri yang paling menguntungkan.
Keuntungan industri farmasi berada di rangking keempat setelah industri
software, perminyakan, dan makanan. Dibanding rata-rata industri,
keuntungan perusahaan farmasi lebih besar yaitu 13.27% dibanding dengan
rata-rata 10.19%. Mekanisme mendapat keuntungan ini dipengaruhi
berbagai sifat khas industri farmasi yang tidak dijumpai di industri
lain.
Salah satu sifat tersebut adalah adanya hambatan untuk masuk ke
industri farmasi, yang akan mempengaruhi harga obat. Hambatan untuk
masuk ke industri farmasi dilakukan dalam berbagai bentuk: (1) regulasi
obat; (2) hak paten; dan (3) sistem distribusi.
Hambatan pertama untuk masuk di industri farmasi
adalah aspek regulasi dalam industri farmasi yang sangat ketat. Di
Amerika Serikat regulator utama adalah Food and Drug Administration
(FDA), sedang di Indonesia dipegang oleh Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM). Proses pengujian obat di Amerika Serikat (termasuk dalam
periode 1) berlangsung sangat lama, bisa terjadi sampai 15 tahun dengan
proses yang sangat kompleks. Setelah menemukan formula kimia baru untuk
menangani suatu penyakit, perusahaan obat harus melakukan uji coba pada
binatang untuk mengetahui daya racun jangka pendek dan keselamatan
obat.
Selanjutnya FDA akan memberikan persetujuan untuk melakukan uji
klinik yang tersusun atas tiga tahap. Tahap I dimulai dengan sekelompok
kecil orang sehat dan berfokus pada dosis dan keamanan obat. Tahap II
akan diberikan ke sejumlah orang yang lebih banyak (sampai ratusan) yang
mempunyai penyakit untuk menguji efikasi obat (kemanjurannya). Tahap
III akan dilakukan ke ribuan pasien dengan berbagai latar belakang
berbeda untuk menguji efikasi dan keselamatannya secara lebih terinci.
Dapat dibayangkan betapa berat dan mahalnya proses ini.
Faktor penghambat kedua adalah hak paten
yang diberikan oleh pemerintah untuk industri farmasi yang berhasil
menemukan obat baru. Contoh yang paling hangat adalah hak paten untuk
obat Viagra® yang sangat menguntungkan karena pembelinya sangat banyak
dan harga sangat tinggi. Dengan adanya kebijakan paten maka perusahaan
farmasi baru harus mempunyai obat baru yang membutuhkan biaya riset
tinggi atau memproduksi obat-obat generik yang sudah tidak ada patennya lagi dengan risiko banyak pesaing.
Setelah sebuah obat habis waktu hak patennya, perusahaan-perusahaan
lain dapat memproduksi obat serupa. Oleh karena itu hambatan untuk masuk
menjadi lebih rendah, dan harga dapat turun. Obat-obat ini disebut
generik yang dampak terapinya sama dengan obat bermerek. Secara logika,
paten memang ditujukan untuk merangsang penelitian ilmiah untuk
menemukan obat-obatan baru